468x60 ads


MBTI : Kepribadian Itu Bisa Dipelajari!

0 komentar

Hampir setahun lebih saya tidak membaca lagi tentang MBTI (Myer Briggs Type Indicator), yang notabene saya sering pelajari sewaktu saya nganggur online di rumah dan tanpa kerjaan. Baik dari itu situs luar (mypersonality.info, personalitycafe.com, dan masih banyak lagi) maupun situs berbahasa indonesia sudah hampir saya kunjungi semua. Berikut ini adalah salah satu artikel dari nafismudrika.wordpress.com yang membahas tentang MBTI.

Membaca kepribadian adalah ilmu yang sangat menarik. Sebab kita secara alami tertarik pada diri sendiri. Selain itu, kita juga tertarik dengan hubungan sosial dengan orang lain, minimal dengan pasangan kita. Mungkin kita pernah mendengar tipe-tipe kepribadian seperti kholeris, sanguinis, melankolis & phlegmatis. Tipologi kepribadian tersebut dikembangkan oleh filsuf Yunani kuno bernama Hipokrates yang kemudian dilanjutkan oleh Claudius Galen. Ilmu membaca kepribadian seseorang memang bukan hal baru dan sudah dikembangkan beratus-ratus tahun lamanya. Namun, sampai hari ini belum ada teori maupun alat (tes) yang bisa menjelaskan 100% akurat mengenai kepribadian dan perilaku seseorang. Sebab manusia itu unik. Hampir tidak ada manusia yang sama satu sama lain, walaupun mereka kembar identik.

Meskipun demikian setidaknya kita bisa menggunakan konsep hukum 20/80 dari Vilvredo Pareto. Kita bisa menggunakan alat ukur yang hanya mengukur 20% saja namun mampu mewakili sebagian besar (80%) aspek yang diukur. Dewasa ini, alat tes kepribadian mudah sekali kita jumpai dan sangat bervariasi. Mulai dari tes projektif seperti tes grafis (menggambar house, tree, person, & wartegg) serta tes Rorschach yang mengungkap alam bawah sadar manusia sampai dengan tes inventori/objektif yang mengandalkan kejujuran pengisinya.

Nah, di antara tes kepribadian inventori yang boleh dikatakan paling akurat, mudah digunakan dan banyak dipakai adalah MBTI (Myer Briggs Type Indicator). MBTI dikembangkan oleh Katharine Cook Briggs dan putrinya yang bernama Isabel Briggs Myers berdasarkan teori kepribadian dari Carl Gustav Jung.

Empat Skala Kecenderungan
MBTI bersandar pada empat dimensi utama yang saling berlawanan (dikotomis). Walaupun berlawanan sebetulnya kita memiliki semuanya, hanya saja kita lebih cenderung / nyaman pada salah satu arah tertentu. Seperti es krim dan coklat panas, mungkin kita mau dua-duanya tetapi cenderung lebih menyukai salah satunya. Masing-masing ada sisi positifnya tapi ada pula sisi negatifnya. Nah, seperti itu pula dalam skala kecenderungan MBTI. Berikut empat skala kecenderungan MBTI;

1. Extrovert (E) vs. Introvert (I). 
Dimensi EI melihat orientasi energi kita ke dalam atau ke luar. Ekstrovert artinya tipe pribadi yang suka dunia luar. Mereka suka bergaul, menyenangi interaksi sosial, beraktifitas dengan orang lain, serta berfokus pada dunia luar dan action oriented. Mereka bagus dalam hal berurusan dengan orang dan hal operasional. Sebaliknya, tipe introvert adalah mereka yang suka dunia dalam (diri sendiri). Mereka senang menyendiri, merenung, membaca, menulis dan tidak begitu suka bergaul dengan banyak orang.  Mereka mampu bekerja sendiri, penuh konsentrasi dan focus. Mereka bagus dalam pengolahan data secara internal dan pekerjaan back office.

2. Sensing (S) vs. Intuition (N).
Dimensi SN melihat bagaimana individu memproses data. Sensing memproses data dengan cara bersandar pada fakta yang konkrit, praktis, realistis dan melihat data apa adanya. Mereka menggunakan pedoman pengalaman dan data konkrit serta memilih cara-cara yang sudah terbukti. Mereka fokus pada masa kini (apa yang bisa diperbaiki sekarang). Mereka bagus dalam perencanaan teknis dan detail aplikatif. Sementara tipe intuition memproses data dengan melihat pola dan hubungan, pemikir abstrak, konseptual serta melihat berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Mereka berpedoman imajinasi, memilih cara unik, dan berfokus pada masa depan (apa yang mungkin dicapai di masa mendatang). Mereka inovatif, penuh inspirasi dan ide unik. Mereka bagus dalam penyusunan konsep, ide, dan visi jangka panjang.

3. Thinking (T) vs. Feeling (F).
Dimensi ketiga melihat bagaimana orang mengambil keputusan. Thinking adalah mereka yang selalu menggunakan logika dan kekuatan analisa untuk mengambil keputusan. Mereka cenderung berorientasi pada tugas dan objektif. Terkesan kaku dan keras kepala. Mereka menerapkan prinsip dengan konsisten. Bagus dalam melakukan analisa dan menjaga prosedur/standar. Sementara feeling adalah mereka yang melibatkan perasaan, empati serta nilai-nilai yang diyakini ketika hendak mengambil keputusan. Mereka berorientasi pada hubungan dan subjektif. Mereka akomodatif tapi sering terkesan memihak. Mereka empatik dan menginginkan harmoni. Bagus dalam menjaga keharmonisan dan memelihara hubungan.

4. Judging (J) vs. Perceiving (P).
Dimensi terakhir melihat derajat fleksibilitas seseorang. Judging di sini bukan berarti judgemental (menghakimi). Judging diartikan sebagai tipe orang yang selalu bertumpu pada rencana yang sistematis, serta senantiasa berpikir dan bertindak teratur (tidak melompat-lompat). Mereka tidak suka hal-hal mendadak dan di luar perencanaan. Mereka ingin merencanakan pekerjaan dan mengikuti rencana itu.  Mereka bagus dalam penjadwalan, penetapan struktur, dan perencanaan step by step. Sementara tipe perceiving adalah mereka yang bersikap fleksibel, spontan, adaptif, dan bertindak secara acak untuk melihat beragam peluang yang muncul. Perubahan mendadak tidak masalah dan ketidakpastian membuat mereka bergairah. Bagus dalam menghadapi perubahan dan situasi mendadak.

Berbicara tentang kepribadian sama dengan berbicara tentang zona nyaman atau orang sering menyebutnya dengan  "Be Yourself". Tapi apakah anda tahu tentang diri anda??
Di artikel selanjutnya saya akan membahas tentang tes MBTI. Keep Silent!! ;)

Tugas Pancasila dan Multikulturalisme : Penutup

0 komentar

KRITIK
Di Indonesia pendidikan multikultural masih relatif masih belum dikenal sebagian besar guru-guru (Farida Hanum dan Setya Raharja, 2006). Oleh sebab itu, sosialisasi tentang pendidikan multikultural penting untuk terus dilakukan, baik yang berbentuk seminar, penataan,  workshop, curah pendapat maupun penyediaan buku-buku penunjang. Masyarakat Indonesia yang sangat beragam, sangat tepat dikelola dengan pendekatan nilai-nilai multikultural agar interaksi dan integrasi dapat berjalan dengan damai, sehingga dapat menumbuhkan sikap kebersamaan, toleransi, humanis, dan demokratis sesuai dengan cita-cita negara pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

SARAN
Untuk membangun bangsa ke depan diperlukan upaya untuk menjalankan asas gerakan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah, sebagai berikut:
a) Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
b) Keanekaragaman budaya menunjukkan adanya visi dan sistem dari masing-masing kebudayaan sehingga budaya satu memerlukan budaya lain.
Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme
c) Setiap kebudayaan secara internal adalah majemuk sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan sebagai modal terciptanya semangat persatuan dan kesatuan. 

Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. 2008. Pancasila di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural. Ebook.
Hanum, Fasrida. 2011. Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa. Ebook.
Bintoro, Asri. 2012. PRURALISME & MULTIKULTURALISME. www.kompasiana.com. Akses September 2012.
Nour, Mina A. 2012. Kewarganegaraan dan Pancasila: Nama yang Berbeda Untuk Substansi yang Sama. www.kompasiana.com. Akses September 2012.
2012. Multikulturalisme. id.wikipedia.org. Akses September 2012.

Tugas Pancasila dan Multikulturalisme : Analisa

0 komentar

1. Pancasila dan Peran Negara
Bagi negara Indonesia yang mempunyai penduduk dengan pluralitas tinggi, Pancasila dibutuhkan sebagai dasar negara yang berfungsi sebagai daya ikat serta dasar pemersatu bangsa dan negara. Pancasila jelas merupakan seperangkat nilai.
Nilai tersebut dapat ditemukan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa:
“suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”.
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa merupakan hal yang penting mengingat Indonesia merupakan negara dengan keberagaman suku sehingga Pancasila dibutuhkan terkait dengan integrasi nasional. Rintangan utama pada pembangunan integrasi nasional adalah eksistensi dari etnis atau minoritas kultural dalam sebuah negara yang menolak kecenderungan integrasi. Makna rasa kesukuan bahkan menjadi lebih dramatis dalam masalah-masalah integratif yang timbul di negara-negara dimana masyarakatnya memiliki identitas etnis yang sangat kuat. Tegasnya, peranan yang dimainkan oleh faktor kesukuan jangan dianggap kecil, baik dalam kasus daerah-daerah yang memiliki identitas suku yang kuat maupun di daerah-daerah dimana penduduknya merupakan campuran dari berbagai suku. Dalam hal yang terakhir ini, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Liddle, etnisitas mungkin bercampur dengan dan dikurangi oleh ikatan-ikatan primordial lain, akan tetapi rasa kesukuan itu tidak sirna.

2. Pancasila dan Multikultualisme bagi Pendidikan Indonesia
Pendidikan pancasila yang berisikan interaksi antara peserta didik dalam latar pendidikan formal dan nonfomal, dan antara anggota masyarakat dalam latar belakang informal, dengan seluruh sumber informasi dan informasi yang memungkinkan setiap orang baik secara individual maupun kolektif mampu mewujudkan esensi nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dan sebagai proses idealisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang multikultural bhineka tunggal ika.

3. Pancasila dan Multikulturalisme bagi Generasi Muda Indonesia
Dalam konteks kehidupan masyarakat yang pluralis, pemahaman yang berdimensi multikultural harus dihadirkan untuk memperluas wacana pemikiran manusia yang selama ini masih mempertahankan ”egoisme” kebudayaan dan keragaman. Haviland (1988) mengatakan bahwa multikultural dapat diartikan pula sebagai pluralitas kebudayaan dan agama. Dengan demikian memelihara pluralitas akan tercapai kehidupan yang ramah dan penuh perdamaian. Pluralitas kebudayaan adalah interaksi sosial dan politik antara orang-orang yang berbeda cara hidup dan berpikirnya dalam suatu masyarakat secara ideal, pluralisme kebudayaan (multikultural) berarti penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka, rasisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada.
Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Sikap ini harus dilatihkan dan dididikkan pada generasi muda dalam sistem pendidikan nasional. Seorang guru tidak hanya dituntut menguasai dan mampu secara profesional mengajar mata pelajaran, lebih dari pada itu, seorang guru harus mampu menanamkan nilai-nilai multikultutal untuk tercapainya bangsa Indonesia yang demokratis dan humanis.

Tugas Pancasila dan Multikulturalisme : Pembahasan

0 komentar

1. Multikulturalisme Perspektif Bhineka Tunggal Ika
Multikulturalisme mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan merasakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli.

2. Multikulturalisme perspektif dasar kewarganegaraan
Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut.

3. Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia
Pancasila dalam Sistem Ekonomi ditengah terjangan dan jeratan sistem liberalis-kapitalistik saat ini, ketika kita kembali terjajah secara ekonomi, nilai-nilai suatu sistem seperti apa  yang mampu menjatidirikan negara-bangsa ini.
Sejatinya, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang mestinya berbasis kerakyatan, bukan sistem yang cenderung melegalisasi liberalisme dan kapitalisme global.Meskipun pasca reformasi terkadang kita enggan untuk mengenali kembali atau memaknai kembali sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis Pancasila sebagai idea moral. Namun jika diletakkan Pancasila sebagai spirit  dasar ekonomi kerakyatan, tidak  ada yang salah.
Seperti yang dijelaskan oleh Sri Edi Swasono, bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem ekonomi yang harus memuat dan berlandaskan pada berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme. Kemanusiaan yang adil dan beradab, artinya sistem ekonomi yang tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi.Persatuan Indonesia, berarti sistem ekonomi ini mengedepankan kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi. Kerakyatan, yang tentulah maksudnya untuk mengutamakan kehidupan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak. Serta Keadilan Sosial, sebuah sistem ekonomi yang  mesti menjamin adanya persamaan atau  emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang.

4. Dampak Pancasila terhadap dunia pendidikan multikulturalisme
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.

Tugas Pancasila dan Multikulturalisme : Pendahuluan

0 komentar

1. Latar Belakang
Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila menempati posisi yang sangat strategis di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang plural dan multikultural. Kesaktiannya benar-benar teruji teristimewa saat berhadapan dengan ideologi dari luar seperti : Sosialisme-komunisme, kapitalisme-materialisme, Islamisme-fundamentalisme dan sebagainya. (Prof. Dr. Nur Syam, M.Si, 2011).
Begitupula sebagai falsafah dan dasar negara, Pancasila tak ubahnya “maha guru” yang menjadi sumber inspirasi bagi siapa saja yang ingin belajar tentang pluralisme maupun toleransi dalam perspektif budaya ketimuran. Nilai luhur yang terkandung dalam ideologi ini seakan tak pernah kering untuk digali karena sumbernya memang mengakar pada budaya yang melekat sebagai warisan dari nenek moyang kita.

2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana kaitannya dengan peran negara?
b. Bagaimana dampak bagi dunia pendidikan?
c. Bagaimana dampak bagi generasi muda Indonesia?

3. Pendekatan
a. Historis
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Multikultural dapat terjadi di Indonesia karena:  1. Letak geografis Indonesia  2. Perkawinan campur  3. Iklim

b. Yuridis
Model multikulturalisme sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Banyak undang-undang dan konstitusi di Indonesia yang mengatur tentang multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia, yaitu misalnya Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Ada juga Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Dalam keanekaragaman dan kejamakan bangsa Indonesia, negara melalui Undang-Undang telah menjamin hak-hak yang sama kepada seluruh rakyat Indonesia.

Tugas Pancasila dan Multikulturalisme : Abstrak

0 komentar

Pluralisme dan multikulturalisme ialah suatu pikiran yang membiarkan,  yang tak menolak,  menerima, bahkan tak berkeberatan jika keadaan keberadaan bangsa kita terdiri dari macam-macam suku bangsa atau bangsa-bangsa, hidup bersama sama dalam satu lingkungan negara kesatuan dengan tetap memelihara budaya, kepercayaan,  keyakinan,  tradisi kebiasaan dan keyakinan politik masing masing. Keadaan plural dan multikultural ini dalam bahasa kunonya disebut bhineka (aneka ragam), tetapi diupayakan agar tetap tunggal ika (menjadi satu).

”Bhineka Tunggal Ika” menjadi seloka yang indah,  juga dijadikan pedoman bagi kehidupan budaya yang pluralistis dan multikulturalistis.

Menurut sejarahnya seloka tersebut diambil dari kitab SUTASOMA karya pujangga keraton Majapahit yang berjuluk Empu TANTULAR . Seloka tersebut terselip dalam kalimat yang terkenal “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrowa”. Seloka ini menjadi begitu berharga karena terpaterikan sebagai pasal dari UUD 45 R.I. yaitu pasal 36 A yang berbunyi “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika”. Pasal 36 C Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa dan Lambang Negara,  serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.

Mengingat adanya kenyataan bahwa kita memiliki suku-suku,  budaya,  kepercayaan dan keyakinan yang pluralistis dan multikulturalistis,  semua itu yang menyebabkan kita perlu mengerti dan mematuhi hakekat dari tembung “Bhineka Tunggal Ika” .

 

Catatan Rizal Malik © 2013 Design by Malik Web Design KOMA | STMIK AMIKOM YK!